Kamis, 28 Februari 2013 | |

HAK-HAK TRADISIONAL MASYARAKAT ADAT




BAB 1 PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
            Kata adat berasal dari bahasa belanda “ADAT RECHT” oleh Cristian Snouck Hurgronje, dalam bukunya “DE ATJEHERS”.
            Kemudian istilah ini dipopulerkan oleh Cornellis Van Vollenhoven sebagai ilmu pengetahuan.
            Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma  mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukudalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.


2.Rumusan Masalah
a. hak-hak tradisional yang dimiliki masyarakat adat ?
b. melindungi hak-hak tradisional masyarakat adat ?

3.Tujuan
            Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk membantu pembaca memahami tentang hak-hak tradisional masyarakat adat, bagaimana cara kita melindungi srta menjaga hak-hak tradisional masyarakat adat.


BAB 2 PEMBAHASAN
1.Hak-Hak Tradisional Yang Dimiliki Masyarakat Adat
Salah satu hak-hak tradisonal yang dimiliki masyarakat adat adalah hak penangkapan tradisional.
               KASUS nelayan kapten KM Gunung Mas yang meninggal saat disekap dan kasus pembakaran nelayan kita oleh aparat Australia (Kompas, 13 Mei 2005) serta aneka kasus penyekapan lain sebelumnya mengingatkan kita soal konsep hak penangkapan ikan tradisional (HPT) atau traditional fishing right.

               Perspektif Internasional Hak penangkapan ikan tradisional di wilayah Negara lain dan internasional dimungkinkan mengingat dalam UNCLOS 1982 ada pasal 51 yang isinya tentang
penghormatan terhadap eksistensi HPT. Pasal ini memberi kekuatan hukum terhadap perlindungan HPT tersebut. Namun demikian, mekanisme perlindungan terhadap nelayan yang memiliki HPT tetap saja mesti diatur secara bilateral dengan negara lain. Begitu pula Agenda 21 pasal 17 tentang perlindungan global terhadap laut juga merujuk pada perlunya berkonsultasi
dengan nelayan lokal (indigenous people) dan melindungi akses mereka terhadap sumberdaya. Sementara itu Convention on Biological Diversity meminta pemerintah agar melindungi dan meningkatkan praktek-praktek budaya tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya biologi. Juga, Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals mengijinkan nelayan local menangkap spesies-spesies yang bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya. Dan, seperti dirinci Tsamenyi dkk (2000) setidaknya ada 17 peraturan internasional yang
mendukung pengakuan HPT tersebut

               Sementara itu, di Selandia Baru terdapat suku Maori yang merupakan penduduk asli. Dalam dunia perikanan yang pola pengelolaannya mirip Australia itu, suku Maori juga dalam posisi terjepit karena dianggap tidak eligible untuk mendapatkan quota, dan dalam Undang-Undang Perikanannya tidak disebutkan adanya HPT untuk Maori. Namun demikian atas perjuangan nelayan Maori yang berdasar pada Waitangi Treaty 1841, akhirnya ada kesepakatan baru melalui Maori Fishery Act 1989, yang isinya antara lain memberikan quota sebanyak 10% kepada nelayan Maori dari Total Allowable Catch (TAC). Bahkan terakhir muncul lagi Treaty of
Waitangi Settlement Act 1992 yang menegaskan perlindungan HPT.

               Ada pun di Kanada, Aboriginal fishing right milik nelayan First Nation, sebutan untuk warga asli Kanada, diakui oleh Konstitusi Kanada. Namun tetap saja posisi mereka marjinal. Namun kini sudah makin membaik setelah nelayan First Nation mendapat tempat di British Columbia Aboriginal Fisheries Commission (BCAFC). Dan para ilmuwan mulai mendukung eksistensi BCAFC tersebut seiring dengan kebutuhan adanya kolaborasi antara sains dengan pengetahuan local (traditional indigenous knowledge) yang dimiliki nelayan First Nation. Terakhir, adalah Jepang. HPT diakui dan diberikan kepada nelayan lokal sejak era Edo. Namun demikian, di era Meiji, HPT tersebut pernah dicabut, namun berkat perjuangan nelayan akhirnya
diakui lagi dan berlanjut hingga sekarang karena masuk dalam Undang-Undang Perikanan-nya.
Bagaimana dengan Indonesia ?

               Perspektif Indonesia Kasus Australia, Selandia Baru, dan Kanada yang mengenal adanya warga aborigin memang agak beda dengan kita. Konflik negara dan nelayan melibatkan sentiment ras, sementara di kita tidak. Jepang barangkali yang lebih mendekati kita. Namun semuanya ternyata butuh perjuangan. Upaya memperjuangkan hak tersebut adalah upaya untuk memperjuangkan keadilan perikanan (fisheries justice). Artinya, bahwa nelayan yang miskin juga berhak menikmati sumberdaya perikanan, yang makin lama makin diperebutkan oleh para pelaku dengan kekuatan penguasaan kapital yang timpang. Tanpa HPT, niscaya nelayan tradisional akan makin terpinggir. Lihat misalnya pada lokasi-lokasi budidaya
mutiara yang seringkali konflik dengan nelayan tradisional yang HPT-nya tak diakui. Begitu pula pada kasus reklamasi, wisata bahari, dan industri padat modal lainnya. 

               Di Indonesia sebenarnya pada jaman Belanda, HPT diakui. Lihat, misalnya, di Staatblad 1916 No 157 tentang siput mutiara, tripang, dan terumbu karang pada Pasal 2 diakui eksistensi HPT nelayan local. Begitu pula pada Staatbald 1927 No 145 yang di dalamnya dimuat larangan menangkap ikan paus dalam perairan 3 mil dari garis pantai, kecuali bagi nelayan
yang telah melakukannya secara turun temurun. Nah, pasca kemerdekaan, juga ada UU Pokok Agraria 1960 Pasal 16 Ayat 2 yang menyebutkan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan. Namun sayangnya, pasal ini kurang  dieloborasi dan diimplementasikan secara memadai, meski pada pasal sebelumnya ditegaskan adanya pengakuan terhadap hak ulayat termasuk di laut. Memasuki Orde Baru, persoalan menjadi lain karena sentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan benar-benar terjadi. Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU Pemerintahan Desa 1979 yang menyeragamkan struktur desa. Padahal sebelum itu desa-desa di Indonesia sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi kepentingan adat. Juga UU Perikanan 1985 tidak menyebutkan soal eksistensi HPT. Tapi, pada era ini ada Kepmentan No 607/1976 tentang jalur-jalur penagkapan ikan dimana ada perlindungan terhadap nelayan dengan kapal di bawah 5 GT dan 10 PK. Tujuan mulia ini kurang berhasil karena memang berada dalam
desain pengelolaan yang sentralistik.

               Nah, di era reformasi ini muncul UU 22/1999 yang lalu disempurnakan menjadi UU 32/2004 serta UU Perikanan No 31/2004. Di dalamnya tidak disebutkan adanya perlindungan terhadap HPT, namun hanya dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh
wilayah. Namun nelayan kecil seperti apa yang dimaksud, memang masih butuh penjelasan. Meski secara tersirat nelayan kecil itu adalah mereka yang tidak terkena kewajiban memiliki ijin usaha perikanan dan pungutan. Yakni, yang armadanya kurang dari 5 gross ton atau di bawah 15 PK.  Karena itu, saya melihat pasal ini punya niat yang mulia untuk melindungi nelayan kecil, namun pasal ini belum memperhatikan fakta sosiologis bahwa nelayan kecil dimanapun
memiliki de facto-property right (termasuk exclusion right), sehingga kalau pun nelayan kecil dibebaskan・melaut ke seluruh  wilayah, tetap perlu merujuk pada realitas tersebut.  Seperti, nelayan andon  biasanya diijinkan memiliki access right dan withdrawal right
dengan berbagai persyaratan baik tertulis maupun tak tertulis.






2.Melindungi Hak Tradisional

               perlindungan terhadap nelayan kecil tidaklah bersifat independen, melainkan terkait dengan desain institusi pengelolaan sumberdaya secara komprehensif. Sehingga ada beberapa agenda penting. Pertama, dalam RPP pemberdayaan nelayan nanti perlu ditegaskan kembali pengakuan terhadap HPT dengan penjelasan beberapa indikator pokoknya sehingga memudahkan Pemda dalam menerjemahkannya ke dalam Perda. HPT ini dimaksudkan untuk kelangsungan tradisi secara turun temurun dan dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi nelayan lokal. Pengakuan HPT ini bisa didesain dengan model TURF (Territorial Use Right
in Fisheries) yang sebenarnya saat ini secara de facto ada, seperti halnya sasi laut di Maluku, namun belum diakui secara de-jure sebagaimana di Jepang.
               Kedua, pengakuan eksistensi HPT juga mesti diikuti dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya secara lebih luas, sehingga tidak saja -meminjam istilah Ostrom (1990)-- hak akses dan hak mengambil sumberdaya (access and withdrawal rights) yang diberikan, tetapi juga hak pengelolaan (management right) dan hak mengeluarkan (exclusion right). Apa artinya diberi HPT
tapi tak ada hak untuk mengatur. Dengan hak kepemilikan sumberdaya yang lengkap seperti itu,
posisi nelayan lokal menjadi kuat karena otoritasnya sebagai pengelola sumberdaya laut diakui. Jadi makna HPT mesti diperluas dari sekedar hak menangkap ikan. Ketiga, bagaimana pun adanya devolusi kewenangan ke nelayan lokal untuk mengelola sumberdaya mensyaratkan organisasi nelayan yang tangguh, termasuk di dalamnya dalam membangun kesepakatan antar komunitas/organisasi nelayan dalam rangka pengelolaan sumberdaya bersama maupun resolusi konflik. Dan, disinilah pemberdayaan politik nelayan berangkat
                Di era reformasi ini muncul UU yang. Di dalamnya tidak disebutkan adanya perlindungan terhadap HPT, namun hanya dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah. Namun nelayan kecil seperti apa yang dimaksud, memang masih butuh penjelasan. Meski secara tersirat nelayan kecil itu adalah mereka yang tidak terkena kewajiban memiliki ijin usaha perikanan dan pungutan.

2.Saran

               Saran saya kepada pemerintah agar mempertegas tentang UU yg dibuat tentang HPT(hak penangkapan tradisional). Kemudian pemerintah menerangkan kepada nelayan kecil tentang apa itu dan fungsi HPT(hak penangkapan tradisional).

1 komentar:

Anonim mengatakan...

How to make money from online gambling | Borrowing and Withdrawals
› money-making- worrione › money-making- Learn how to make money by taking advantage of หาเงินออนไลน์ our online casino 샌즈카지노 reviews and promotions.

Posting Komentar