1.Latar
Belakang
Kata
adat berasal dari bahasa belanda
“ADAT RECHT” oleh Cristian Snouck Hurgronje, dalam bukunya “DE ATJEHERS”.
Kemudian
istilah ini dipopulerkan oleh Cornellis Van Vollenhoven sebagai ilmu
pengetahuan.
Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah
teknis saja. Dikatakan
demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam
rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam
suatu sistem keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan
yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem
hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum
Adat.
2.Rumusan
Masalah
a. hak-hak tradisional yang dimiliki
masyarakat adat ?
b. melindungi hak-hak tradisional
masyarakat adat ?
3.Tujuan
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk membantu pembaca memahami tentang hak-hak
tradisional masyarakat adat, bagaimana cara kita melindungi srta menjaga
hak-hak tradisional masyarakat adat.
BAB 2 PEMBAHASAN
1.Hak-Hak Tradisional Yang Dimiliki Masyarakat Adat
Salah satu
hak-hak tradisonal yang dimiliki masyarakat adat adalah hak penangkapan
tradisional.
KASUS nelayan kapten KM Gunung
Mas yang meninggal saat disekap dan kasus pembakaran nelayan kita oleh aparat Australia
(Kompas, 13 Mei 2005) serta aneka kasus penyekapan lain sebelumnya mengingatkan
kita soal konsep hak penangkapan ikan tradisional (HPT) atau traditional
fishing right.
Perspektif Internasional Hak
penangkapan ikan tradisional di wilayah Negara lain dan internasional dimungkinkan
mengingat dalam UNCLOS 1982 ada pasal 51 yang isinya tentang
penghormatan
terhadap eksistensi HPT. Pasal ini memberi kekuatan hukum terhadap perlindungan
HPT tersebut. Namun demikian, mekanisme perlindungan terhadap nelayan yang
memiliki HPT tetap saja mesti diatur secara bilateral dengan negara lain.
Begitu pula Agenda 21 pasal 17 tentang perlindungan global terhadap laut juga
merujuk pada perlunya berkonsultasi
dengan
nelayan lokal (indigenous people) dan melindungi akses mereka terhadap
sumberdaya. Sementara itu Convention on Biological Diversity meminta pemerintah
agar melindungi dan meningkatkan praktek-praktek budaya tradisional dalam
pemanfaatan sumberdaya biologi. Juga, Convention on the Conservation of
Migratory Species of Wild Animals mengijinkan nelayan local menangkap
spesies-spesies yang bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya. Dan,
seperti dirinci Tsamenyi dkk (2000) setidaknya ada 17 peraturan internasional
yang
mendukung
pengakuan HPT tersebut
Sementara itu, di Selandia Baru
terdapat suku Maori yang merupakan penduduk asli. Dalam dunia perikanan yang
pola pengelolaannya mirip Australia itu, suku Maori juga dalam posisi terjepit
karena dianggap tidak eligible untuk mendapatkan quota, dan dalam Undang-Undang
Perikanannya tidak disebutkan adanya HPT untuk Maori. Namun demikian atas perjuangan
nelayan Maori yang berdasar pada Waitangi Treaty 1841, akhirnya ada kesepakatan
baru melalui Maori Fishery Act 1989, yang isinya antara lain memberikan quota sebanyak
10% kepada nelayan Maori dari Total Allowable Catch (TAC). Bahkan terakhir
muncul lagi Treaty of
Waitangi
Settlement Act 1992 yang menegaskan perlindungan HPT.
Ada pun di Kanada, Aboriginal
fishing right milik nelayan First Nation, sebutan untuk warga asli Kanada, diakui
oleh Konstitusi Kanada. Namun tetap saja posisi mereka marjinal. Namun kini
sudah makin membaik setelah nelayan First Nation mendapat tempat di British
Columbia Aboriginal Fisheries Commission (BCAFC). Dan para ilmuwan mulai
mendukung eksistensi BCAFC tersebut seiring dengan kebutuhan adanya kolaborasi
antara sains dengan pengetahuan local (traditional indigenous knowledge) yang
dimiliki nelayan First Nation. Terakhir, adalah Jepang. HPT diakui dan
diberikan kepada nelayan lokal sejak era Edo. Namun demikian, di era Meiji, HPT
tersebut pernah dicabut, namun berkat perjuangan nelayan akhirnya
diakui
lagi dan berlanjut hingga sekarang karena masuk dalam Undang-Undang
Perikanan-nya.
Bagaimana
dengan Indonesia ?
Perspektif Indonesia Kasus
Australia, Selandia Baru, dan Kanada yang mengenal adanya warga aborigin memang
agak beda dengan kita. Konflik negara dan nelayan melibatkan sentiment ras,
sementara di kita tidak. Jepang barangkali yang lebih mendekati kita. Namun
semuanya ternyata butuh perjuangan. Upaya memperjuangkan hak tersebut adalah upaya
untuk memperjuangkan keadilan perikanan (fisheries justice). Artinya, bahwa
nelayan yang miskin juga berhak menikmati sumberdaya perikanan, yang makin lama
makin diperebutkan oleh para pelaku dengan kekuatan penguasaan kapital yang
timpang. Tanpa HPT, niscaya nelayan tradisional akan makin terpinggir. Lihat
misalnya pada lokasi-lokasi budidaya
mutiara
yang seringkali konflik dengan nelayan tradisional yang HPT-nya tak diakui.
Begitu pula pada kasus reklamasi, wisata bahari, dan industri padat modal
lainnya.
Di Indonesia sebenarnya pada
jaman Belanda, HPT diakui. Lihat, misalnya, di Staatblad 1916 No 157 tentang
siput mutiara, tripang, dan terumbu karang pada Pasal 2 diakui eksistensi HPT
nelayan local. Begitu pula pada Staatbald 1927 No 145 yang di dalamnya dimuat
larangan menangkap ikan paus dalam perairan 3 mil dari garis pantai, kecuali
bagi nelayan
yang
telah melakukannya secara turun temurun. Nah, pasca kemerdekaan, juga ada UU
Pokok Agraria 1960 Pasal 16 Ayat 2 yang menyebutkan adanya hak pemeliharaan dan
penangkapan ikan. Namun sayangnya, pasal ini kurang dieloborasi dan diimplementasikan secara
memadai, meski pada pasal sebelumnya ditegaskan adanya pengakuan terhadap hak
ulayat termasuk di laut. Memasuki Orde Baru, persoalan menjadi lain karena sentralisasi
pengelolaan sumberdaya perikanan benar-benar terjadi. Praktis hak ulayat
melemah seiring dengan lahirnya UU Pemerintahan Desa 1979 yang menyeragamkan
struktur desa. Padahal sebelum itu desa-desa di Indonesia sangatlah beragam
strukturnya dan mengakomodasi kepentingan adat. Juga UU Perikanan 1985 tidak
menyebutkan soal eksistensi HPT. Tapi, pada era ini ada Kepmentan No 607/1976
tentang jalur-jalur penagkapan ikan dimana ada perlindungan terhadap nelayan
dengan kapal di bawah 5 GT dan 10 PK. Tujuan mulia ini kurang berhasil karena
memang berada dalam
desain
pengelolaan yang sentralistik.
Nah, di era reformasi ini muncul
UU 22/1999 yang lalu disempurnakan menjadi UU 32/2004 serta UU Perikanan No 31/2004.
Di dalamnya tidak disebutkan adanya perlindungan terhadap HPT, namun hanya
dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh
wilayah.
Namun nelayan kecil seperti apa yang dimaksud, memang masih butuh penjelasan.
Meski secara tersirat nelayan kecil itu adalah mereka yang tidak terkena
kewajiban memiliki ijin usaha perikanan dan pungutan. Yakni, yang armadanya
kurang dari 5 gross ton atau di bawah 15 PK.
Karena itu, saya melihat pasal ini punya niat yang mulia untuk
melindungi nelayan kecil, namun pasal ini belum memperhatikan fakta sosiologis
bahwa nelayan kecil dimanapun
memiliki
de facto-property right (termasuk exclusion right), sehingga kalau pun nelayan
kecil dibebaskan・melaut ke seluruh wilayah, tetap perlu merujuk pada realitas
tersebut. Seperti, nelayan andon biasanya diijinkan memiliki access right dan
withdrawal right
dengan
berbagai persyaratan baik tertulis maupun tak tertulis.
2.Melindungi Hak Tradisional
perlindungan terhadap nelayan
kecil tidaklah bersifat independen, melainkan terkait dengan desain institusi
pengelolaan sumberdaya secara komprehensif. Sehingga ada beberapa agenda
penting. Pertama, dalam RPP pemberdayaan nelayan nanti perlu ditegaskan kembali
pengakuan terhadap HPT dengan penjelasan beberapa indikator pokoknya sehingga memudahkan
Pemda dalam menerjemahkannya ke dalam Perda. HPT ini dimaksudkan untuk
kelangsungan tradisi secara turun temurun dan dalam rangka memenuhi kepentingan
ekonomi nelayan lokal. Pengakuan HPT ini bisa didesain dengan model TURF
(Territorial Use Right
in
Fisheries) yang sebenarnya saat ini secara de facto ada, seperti halnya sasi
laut di Maluku, namun belum diakui secara de-jure sebagaimana di Jepang.
Kedua, pengakuan eksistensi HPT
juga mesti diikuti dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya secara lebih
luas, sehingga tidak saja -meminjam istilah Ostrom (1990)-- hak akses dan hak
mengambil sumberdaya (access and withdrawal rights) yang diberikan, tetapi juga
hak pengelolaan (management right) dan hak mengeluarkan (exclusion right). Apa
artinya diberi HPT
tapi
tak ada hak untuk mengatur. Dengan hak kepemilikan sumberdaya yang lengkap
seperti itu,
posisi
nelayan lokal menjadi kuat karena otoritasnya sebagai pengelola sumberdaya laut
diakui. Jadi makna HPT mesti diperluas dari sekedar hak menangkap ikan. Ketiga,
bagaimana pun adanya devolusi kewenangan ke nelayan lokal untuk mengelola
sumberdaya mensyaratkan organisasi nelayan yang tangguh, termasuk di dalamnya dalam
membangun kesepakatan antar komunitas/organisasi nelayan dalam rangka
pengelolaan sumberdaya bersama maupun resolusi konflik. Dan, disinilah
pemberdayaan politik nelayan berangkat
Di era reformasi ini muncul UU yang. Di
dalamnya tidak disebutkan adanya perlindungan terhadap HPT, namun hanya
dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah. Namun
nelayan kecil seperti apa yang dimaksud, memang masih butuh penjelasan. Meski
secara tersirat nelayan kecil itu adalah mereka yang tidak terkena kewajiban
memiliki ijin usaha perikanan dan pungutan.
2.Saran
Saran
saya kepada pemerintah agar mempertegas tentang UU yg dibuat tentang HPT(hak
penangkapan tradisional). Kemudian pemerintah menerangkan kepada nelayan kecil tentang apa itu dan fungsi HPT(hak penangkapan tradisional).
1 komentar:
How to make money from online gambling | Borrowing and Withdrawals
› money-making- worrione › money-making- Learn how to make money by taking advantage of หาเงินออนไลน์ our online casino 샌즈카지노 reviews and promotions.
Posting Komentar